ads

Berita

NAD

Nasional

Internasional

Dunia Islam

Tuliasan%20Anda

Air susu di balas dengan air tuba,sejarah soekarno dan abu daud beu'reu'eh

soekarno dan abu daud beu'reu'eh
penulis muhammad nadir(seulanga media)

seulanga media kali ini kembali mengingatkan kepada kita semua tentang sejarah agar sejarah ini tidak kita lupakan
Jauh sebelum NKRI berdiri, Aceh Darussalam telah berdaulat sebagai sebuah kerajaan merdeka dan bahkan menjadi bagian dari kekhalifahan Turki Utsmaniyah.
Hal ini sungguh-sungguh disadari Soekarno sehingga dia mengajak dan membujuk Muslim Aceh untuk mau bergabung dengan rakyat Indonesia guna melawan penjajah Belanda.
Saat berkunjung ke Aceh tahun 1948, Bung Karno dengan sengaja menemui tokoh Aceh, Daud Beureueh. Bung Karno selaku Presiden RI menyapa Daud Beureueh dengan sebutan “Kakanda (kakak)” dan terjadilah dialog yang sampai saat ini tersimpan dengan baik dalam catatan sejarah:
Presiden Soekarno : “Saya minta bantuan Kakak agar rakyat Aceh turut mengambil bagian dalam perjuangan bersenjata yang sekarang sedang berkobar antara Indonesia dan Belanda untuk mempertahankan kemerdekaan yang telah kita proklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945.”
Daud Beureueh : “Saudara Presiden! Kami rakyat Aceh dengan segala senang hati dapat memenuhi permintaan Presiden asal saja perang yang akan kami kobarkan itu berupa perang sabil atau perang fisabilillah, perang untuk menegakkan agama Allah sehingga kalau ada di antara kami yang terbunuh dalam perang itu maka berarti mati syahid.”
Presiden Soekarno : “Kakak! Memang yang saya maksudkan adalah perang yang seperti telah dikobarkan oleh pahlawan-pahlawan Aceh yang terkenal seperti Teungku Cik Di Tiro dan lain-lain, yaitu perang yang tidak kenal mundur, perang yang bersemboyan merdeka atau syahid.”
Daud Beureueh : “Kalau begitu kedua pendapat kita telah bertemu Saudara Presiden. Dengan demikian bolehlah saya mohon kepada Saudara Presiden, bahwa apabila perang telah usai nanti, kepada rakyat Aceh diberikan kebebasan untuk menjalankan Syariat Islam di dalam daerahnya.”
Presiden Soekarno : “Mengenai hal itu Kakak tak usah khawatir. Sebab 90% rakyat Indonesia beragama Islam.”
Daud Beureueh : “Maafkan saya Saudara Presiden, kalau saya terpaksa mengatakan bahwa hal itu tidak menjadi jaminan bagi kami. Kami menginginkan suatu kata ketentuan dari Saudara Presiden.”
Presiden Soekarno : “Kalau demikian baiklah, saya setujui permintaan Kakak itu.”
Daud Beureueh : “Alhamdulillah. Atas nama rakyat Aceh saya mengucapkan terima kasih banyak atas kebaikan hati Saudara Presiden. Kami mohon (sambil menyodorkan secarik kertas kepada presiden) sudi kiranya Saudara Presiden menulis sedikit di atas kertas ini.”
Daud Beureu'eh
Mendengar ucapan Daud Beureueh itu Bung Karno langsung menangis terisak-isak. Airmata yang mengalir telah membasahi bajunya. Dalam keadaan sesenggukan,
Soekarno berkata, : “Kakak! Kalau begitu tidak ada gunanya aku menjadi presiden. Apa gunanya menjadi presiden kalau tidak dipercaya.” Dengan tetap tenang, Daud Beureueh menjawab, “Bukan kami tidak percaya, Saudara Presiden. Akan tetapi sekadar menjadi tanda yang akan kami perlihatkan kepada rakyat Aceh yang akan kami ajak untuk berperang.”
Sambil menyeka airmatanya, Bung Karno berjanji,
Bung Karno berjanji : “Wallah Billah (Demi Allah), kepada daerah Aceh nanti akan diberi hak untuk menyusun rumah tangganya sendiri sesuai dengan Syariat Islam. Dan Wallah, saya akan pergunakan pengaruh saya agar rakyat Aceh benar-benar dapat melaksanakan Syariat Islam di dalam daerahnya. Nah, apakah Kakak masih ragu-ragu juga?”
Daud Beureueh menjawab, : “Saya tidak ragu Saudara Presiden. Sekali lagi, atas nama rakyat Aceh saya mengucapkan banyak terima kasih atas kebaikan hati Saudara Presiden.”
Dalam suatu wawancara yang dilakukan M. Nur El Ibrahimy dengan Daud Beureueh, Daud Beureueh menyatakan bahwa melihat Bung Karno menangis terisak-isak, dirinya tidak sampai hati lagi untuk bersikeras meminta jaminan hitam di atas putih atas janji-janji presiden itu.
Soekarno mengucapkan janji tersebut pada tahun 1948. Setahun kemudian Aceh bersedia dijadikan satu provinsi sebagai bagian dari NKRI. Namun pada tahun 1951, belum kering bibir mengucap, Provinsi Aceh dibubarkan pemerintah pusat dan disatukan dengan Provinsi Sumatera Utara.
Jelas, ini menimbulkan sakit hati rakyat Aceh. Aceh yang porak-poranda setelah berperang cukup lama melawan Belanda dan kemudian Jepang, lalu menguras dan menghibahkan seluruh kekayaannya demi mempertahankan keberadaan Republik Indonesia tanpa pamrih, oleh pemerintah pusat bukannya dibangun dan ditata kembali malah dibiarkan terbengkalai.
Bukan itu saja, hak untuk mengurus diri sendiri pun akhirnya dicabut. Rumah-rumah rakyat, dayah-dayah, meunasah-meunasah, dan sebagainya yang hancur karena peperangan melawan penjajah dibiarkan porak-poranda. Bung Karno telah menjilat ludahnya sendiri dan mengkhianati janji yang telah diucapkannya atas nama Allah. Kenyataan ini oleh rakyat Aceh dianggap sebagai kesalahan yang tidak pernah termaafkan.

Daud Beureueh Bapak Kesadaran Aceh

Daud Beureueh Bapak Kesadaran Aceh - daud-beureueh_20160622_121423.jpg
Oleh: MUHAMMAD ALKAF*
Beurujuk.com | DAUD BEUREUEH adalah kepada siapa tokoh Aceh di awal abad ke 20 belajar dan menunjukkan rasa kesetiannya. Mulai dari Husin Al-Mujahid, M. Ali Piyeung, Ali Hasjmy, Ayah Gani hingga para pelajar di Normal Islam Institute, Bireuen.
Hasan Saleh, misalnya, memiliki rasa hormat yang besar kepada gurunya di Madrasah Sa'adah Abadiah Sigli itu. “Indonesia tidak akan merdeka kalau tidak ada Daud Beureueh,” katanya lugas.
Betapapun diantara keduanya memiliki pandangan politik yang berbeda tajam. Hasan Saleh tidak sendiri dalam memberi pemaknaan kepada Daud Beureuh. Peneliti asal Amerika, Boyd R. Comton bahkan memberikan penjelasan yang lebih bertenaga lagi tentang tokoh utama Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) itu. Menurut Compton, Daud Beureuh itu adalah Singa Aceh.
Daud Beureueh lahir dan tumbuh di saat Aceh berada dalam pendudukan Belanda. Dia dapat dikatakan, melihat secara langsung kedukaan yang mendalam dari orang Aceh karena hal tersebut. Sebuah suasana kebatinanyang oleh Ibrahim Alfian digambarkan sebagai “kehancuran, depresi dan sakit mental” (Reid, 2012: 13).
Lahir dalam kondisi demikian, maka Daud Beureueh, tentu bersama angkatannya, bangkit untuk kembali membangun Aceh yang sudah porak poranda itu. Untuk mendorong agendanya tersebut, maka Daud Beureueh-pun, menggunakan istilah dari Fachry Ali, meminjam tangan dari luar.
Yang dimaksud “meminjam tangan dari luar” adalah gagasan pembaharuan dari gerakan Islam modernis, hal yang telah terlebih dahulu berkembang di kawasan lainnya di Indonesia: Sumatera Barat dan Yogyakarta. Perjumpaan Daud Beureuehdengan gagasan pembaharuan itu sebenarnya menarik.
Daud Beureueh, juga tokoh lain seperti A. Wahab Seulimeum dan Syeikh Ibrahim Lamnga, tidak mendapatkan pendidikan modern secara langsung. Namun mereka mampu menangkap setiap dentuman dari semangat kemoderenan itu, lalu, menjadikannya sebagai inspirasi dan corak berfikirnya pula.
Compton sendiri menyaksikan, sampai dua dekade setelah Daud Beureueh menggerakkan pembaruan Islam di Aceh, dia masih saja tegak berdiri di atas rel-nya itu. “Daud Beureuh bicara dengan gelora dan kesungguhan tentang perlunya pembaharuan,” kata Compton.
Gagasan modernisme Islam yang didorong oleh Daud Beureueh, harus dipahami dalam konteks kesejarahan paska selesainya Perang Kolonial dengan Belanda. Dimana, dalam formasi dari Paul Van’t Veer, perang tersebut berlangsung tanpa henti, dari tahun 1873 ke tahun 1942. Sehingga dapat dikatakan, gerakan modernisme Islam di Aceh, sungguh berbeda dengan daerah lainnya, yang memiliki pengalaman serupa.
Modernisme Islam di Aceh berkelindan dengan gerakan politik, yang nantinya berujung kepada pembebasan dari jeratan praktik kolonialisme dan imperiarialisme bangsa asing. Jadi tentu saja, kita tidak dapat membayangkan bagaimana nasib Aceh, apabila, generasi Daud Beureueh tidak mengapresiasi kehadiran modernisme Islam kala itu.
Secara konsep, dan begitu pula praktiknya di Aceh, gagasan modernisme Islam adalah sebuah bangunan utuh tentang Islam dari berbagai aspek kehidupan. Yang kemudian diterjemahkan dalam dua aspek sekaligus; individu dan sosial politik. Secara individu, dibangunlah sebuah gugusan keberagamaan yang menekankan perlunya pemurnian tauhid dari jebakan takhyul dan khurafat. Lalu, diikuti pula dengan pembersihan ibadah yang dipenuhi praktik bid’ah.
Kemudian, konsekuensi logis dari permunian tauhid itu adalah pembebasan secara sosial dan politik. Dari situlah kemudianDaud Beureueh memimpin sebuah gerakan zaman baru di Aceh melalui organisasi PUSA.
Hal pertama yang dilakukannya adalah mendorong cara berfikir yang berkemajuan, melalui pendirian madrasah-madrasah, sebagai bentuk modernisasi dunia pendidikan di Aceh. Atas usahanya tersebut, yang dianggap sebagai membebaskan Aceh dari zaman kegelapan, maka Daud Beureueh diberi gelar sebagai “Bapak Kesadaran Aceh” (Isa Sulaiman, 1997: 49).
Kepercayaan Daud Beureueh terhadap Islam, yang didapatkannya dari semangat kemoderenan itu, digambarkan dengan apik oleh seorang intelektuil soliter di Aceh.
Baginya, Daud Beureueh adalah orang yang percaya ke “dalam,” yaitu Islam, sebagai jawaban untuk membangun Aceh yang lebih baik.
Maka dari itu, sampai akhir perjuangan Darul Islam, dia masih percaya dengan kekuatan Islam, sebagai basis kesadaran bagi manusia Aceh. Hal itu ditunjukkan melalui, apa yang disebutnya sebagai, Tuntutan Dasar Muqaddimah Pelaksanaan Unsur-unsurSyariat Islam.
Pokok-pokok pikiran yang ditulisnya pada tanggal 9 April 1962 itu, memiliki gagasan dasar tentang falsafah kehidupan manusia Aceh, yaitu, ketika Daud Beureuh memberi penekanan dengan kalimat sebagai berikut:
“Ketahuilah wahai rakjat Atjeh jang terjinta, bahwa Sjari’at Islam tjukup luas sempurna dan hidup, mentjukupi segala bidang hidup dan kehidupan manusia."  (Serambi) [tebarsuara.com]
 *) Dosen Politik Islam di IAIN Langsa dan Peneliti di Aceh Institute. Aktif menuliskan pikiran-pikirannya mengenai politik, sejarah dan biografi.

Aceh Dan Turki Dalam Sejarah Dua Kekuatan Islam Di Masa Lalu

Beurujuk.com | Kisah yang terikat erat dalam kesatuan akidah yang kuat, itulah hubungan Aceh Darusalam dengan kekhalifahan Islam Turki Ustmaniyah. Adalah sebuah arsip Utsmani berisi petisi Sultan Alaiddin Riayat Syah kepada Sultan Sulayman Al-Qanuni, yang dibawa Huseyn Effendi, membuktikan jika Aceh mengakui penguasa Utsmani di Turki sebagai kekhalifahan Islam.

Dokumen tersebut juga berisi laporan soal armada Salib Portugis yang sering mengganggu dan merompak kapal pedagang Muslim yang tengah berlayar di jalur pelayaran Turki-Aceh dan sebaliknya. Portugis juga sering menghadang jamaah haji dari Aceh dan sekitarnya yang hendak menunaikan ibadah haji ke Mekkah.
Sebab itu, Aceh mendesak Turki Utsmaniyah mengirim armada perangnya untuk mengamankan jalur pelayaran tersebut dari gangguan armada kafir.

Sultan Sulayman Al-Qanuni wafat pada 1566 M digantikan Sultan Selim II yang segera memerintahkan armada perangnya untuk melakukan ekspedisi militer ke Aceh. Sekitar bulan September 1567 M, oleh Laksamana Turki di Suez, Kurtoglu Hizir Reis, diperintahkan berlayar menuju Aceh membawa sejumlah ahli senapan api, tentara, dan perlengkapan artileri.
Pasukan ini oleh Sultan diperintahkan berada di Aceh selama masih dibutuhkan oleh Sultan Aceh. Walau berangkat dalam jumlah amat besar, yang tiba di Aceh hanya sebagiannya saja, karena di tengah perjalanan, sebagian armada Turki dialihkan ke Yaman guna memadamkan pemberontakan yang berakhir pada 1571 M.

Sementara di Aceh, kehadiran armada Turki disambut meriah. Oleh Sultan Aceh menganugerahkan Laksamana Kurtoglu Hizir Reis sebagai gubernur (wali) Nanggroe Aceh Darussalam, utusan resmi Sultan Selim II yang ditempatkan di wilayah tersebut. Pasukan Turki tiba di Aceh secara bergelombang (1564-1577) berjumlah sekitar 500 orang, namun seluruhnya ahli dalam seni bela diri dan mempergunakan senjata, seperti senjata api, penembak jitu, dan mekanik. Dengan bantuan tentara Turki, Kesultanan Aceh menyerang Portugis di pusatnya
Malaka.

Setelah kemenangan didapat, agar aman dari gangguan para perompak lalu Turki Ustmani juga mengizinkan kapal-kapal Aceh mengibarkan bendera Turki Utsmani di kapalnya. Laksamana Turki untuk wilayah Laut Merah, Selman Reis, dengan cermat terus memantau tiap pergerakan armada perang Portugis di Samudera Hindia. Hasil pantauannya itu dilaporkan Selman ke pusat pemerintahan kekhalifahan di Istanbul, Turki.

Salah satu bunyi laporan yang dikutip Saleh Obazan sebagai berikut:

“Portugis juga menguasai pelabuhan (Pasai) di pulau besar yang disebut Syamatirah (Sumatera). Dikatakan, mereka mempunyai 200 orang kafir di sana (Pasai). Dengan 200 orang kafir, mereka juga menguasai pelabuan Malaka yang berhadapan dengan Sumatera.
Karena itu, ketika kapal-kapal kita sudah siap dan, in sya Allah, bergerak melawan mereka, maka kehancuran total mereka tidak akan terelakkan lagi, karena satu benteng tidak bisa menyokong yang lain, dan mereka tidak dapat membentuk perlawanan yang bersatu.”

Namun Portugis tetap sombong. Raja Portugis Emanuel I dengan angkuh berkata, “Sesungguhnya tujuan dari pencarian jalan laut ke India adalah untuk menyebarkan agama Kristen, dan merampas kekayaan orang-orang Timur”. Itu semua terkait dengan Perang Salib.

Sementara utusan yang bernama Huseyn Effendi yang fasih berbahasa Arab. Ia datang ke Turki setelah menunaikan ibadah haji. Pada Juni 1562 M, utusan Aceh tersebut tiba di Istanbul untuk meminta bantuan militer Utsmani guna menghalau Portugis. Di perjalanan, Huseyn Effendi sempat dihadang armada Portugis. Setelah berhasil lolos, ia pun sampai di Istanbul yang segera mengirimkan bala-bantuan yang diperlukan, guna mendukung Kesultanan Aceh membangkitkan izzahnya sehingga mampu membebaskan Aru dan Johor pada 1564 M.

Dalam peperangan di laut, armada perang Kesultanan Aceh terdiri dari kapal perang kecil yang mampu bergerak dengan gesit dan juga kapal berukuran besar. Kapal-kapal dari yang berukuran 500 sampai 2000 ton. Sedangkan kapal-kapal besar dari Turki yang dilengkapi meriam dan persenjataan lainnya dipergunakan Aceh untuk menyerang penjajah dari Eropa yang ingin merampok wilayah-wilayah Muslim di seluruh Nusantara. Aceh benar-benar tampil sebagai kekuatan maritim yang besar dan sangat ditakuti Portugis di Nusantara karena mendapat bantuan penuh dari armada perang Turki Utsmani dengan segenap peralatan perangnya.

Kemudian pada masa Sultan Iskandar Muda (1607-1636 M), di mana Kerajaan Aceh Darussalam mencapai masa kegemilangan, juga pernah mengirimkan satu armada kecil terdiri dari tiga kapal, menuju Istanbul. Rombongan ini tiba di Istanbul setelah berlayar selama 12 tahun setengah lewat Tanjung Harapan. Ketika misi ini kembali ke Aceh, mereka diberi bantuan sejumlah senjata, dua belas penasehat militer Turki, dan sepucuk surat yang merupakan sikap resmi Kekhalifahan Utsmaniyah yang menegaskan bahwa antara kedua Negara Islam tersebut merupakan satu keluarga dalam Islam.

Kedua belas pakar militer itu diterima dengan penuh hormat dan diberi penghargaan sebagai pahlawan Kerajaan Islam Aceh. Mereka tidak saja ahli dalam persenjataan, siasat, dan strategi militer, tetapi juga pandai dalam bidang konstruksi bangunan sehingga mereka bisa membantu Sultan Iskandar Muda dalam membangun benteng tangguh di Bandar Aceh (Kuta Radja) dan istana Kesultanan.

Kesultanan Aceh mendapat keistimewaan untuk mengibarkan bendera Turki Utsmani pada kapal-kapalnya sebagai tanda hubungan erat keduanya. Juga dampak dari keberhasilan Khilafah Utsmaniyah menghadang armada Salib Portugis di Samudera Hindia tersebut amatlah besar.

Di antaranya mampu mempertahankan tempat-tempat suci dan rute ibadah haji dari Asia Tengg ara ke Mekkah; memelihara kesinambungan pertukaran perniagaan antara India dengan pedagang Eropa di pasar Aleppo, Kairo, dan Istambul; dan juga mengamankan jalur perdagangan laut utama Asia Selatan, dari Afrika dan Jazirah Arab-India-Selat Malaka-Jawa-dan ke Cina. Kesinambungan jalur-jalur perniagaan antara India dan Nusantara dan Timur Jauh melalui Teluk Arab dan Laut Merah juga aman dari gangguan. (Status Aceh)

Penulis Biografi Hasan Tiro Lolos ke Ubud Writers Festival

77hasan-tiro.jpg.jpeg
Beurujuk.com | Penulis buku biografi pendiri Gerakan Aceh Merdeka Hasan Tiro, Murizal Hamzah, lolos seleksi untuk mengikuti Ubud Writers and Readers Festival (UWRF) yang setiap tahun diadakan di Bali. Tahun ini, panitia mengumumkan 16 penulis emerging Indonesia yang lolos seleksi sebagai pembicara pada festival yang diikuti oleh penikmat seni dari seluruh dunia. Tahun ini, lomba UWRF diikuti oleh  894 penulis dari 201 kota di 33 provinsi Indonesia.
“Alhamdulillah, dari 16 penulis yang lolos seleksi ke Ubud, salah satunya karya buku yang diterbitkan  oleh Bandar Publishing dengan judul Hasan Tiro: Jalan panjang menuju Damai Aceh yang ditulis oleh Murizal Hamzah,” ungkap Direktur Bandar Publishing Mukhlisuddin Ilyas, Rabu (15/6).
Mukhlisuddin menyebutkan berdasarkan email yang diterima pada Selasa (14/6) adapun 16 penulis yang tampil berbicara pada 26 – 30 Oktober mendatang di Ubud berasal dari Aceh, Bukittinggi,  Bangkalan, Yogyakarta,  Kendari, Malang,  Cilegon, Tangerang, Padang, Jakarta,  Denpasar, Pamekasan dan Pontianak. Disebutkan,  agenda tahunan ini menghadirkan lebih dari 150 pembicara yang terdiri dari penulis, seniman, budayawan, dan para pemikir lainnya.
 “Lulusnya buku Biografi Hasan Tiro ke Ubud Writers adalah hal pertama bagi kami penerbit lokal. Ini semakin memberi semangat bagi kami untuk terus berkarya dengan buku-buku yang bermutu yang menjadi inspirasi bagi pembaca,” ucapnya.
Direktur Bandar Publishing mengutip catatan yang dikeluarkan oleh Dewan Kurator UWRF 2016 Seno Gumira Ajidarma, Iswadi Pratama dan Kadek Sonia Piscayanti bahwa sepanjang sejarah program penulis emerging yang pertama diadakan pada 2008, jumlah penulis tahun ini merupakan yang tertinggi.  Hal ini mencerminkan betapa sesungguhnya gairah untuk menulis masih cukup tinggi di kalangan para penulis muda tanah air. Program Ini  menjadi salah satu wahana utama bagi penulis emerging Indonesia untuk menunjukkan pencapaiannya
Dalam catatan Seno ditegaskan karya-karya penulis peserta seleksi dibaca terlebih dahulu oleh tim pre-kurasi yang terdiri dari sastrawan Ubud, Ketut Yuliarsa dan Manajer Program Indonesia UWRF, I Wayan Juniarta.  Kemudian karya-karya inilah yang dibaca dan ditelaah oleh anggota Dewan Kurator.
 “Menulis (karya sastra) bukan cuma soal memiliki isu atau tema atau ide, lalu menguraikannya dalam sekian banyak bab, sejumlah puisi, atau sejumlah esai, melainkan juga soal bagaimana menghadirkan kembali sebuah dunia yang mampu memberikan bukan saja perspektif yang segar, tetapi juga pengalaman berbahasa yang terus menerus tumbuh dalam karya yang disajikan,” pungkas Mukhlisuddin mengutip pernyataan Seno.
Tema yang diusung di festival ke-13 kali ini adalah ‘Tat Tvam Asi’, sebuah penggalan filosofi Hindu dari abad ke-6 dengan makna yang sangat dalam yaitu ‘Aku adalah engkau, engkau adalah aku’ atau ‘Kita semua satu’. [tebarsuara.com]

Naskah Maklumat Bersama Ulama Atjeh 1948

Maasyaa Allah, ini dokumen Pemerintahan Daud Beureueh tentang fatwa bid'ah di Aceh tempo dulu
Naskah Maklumat Bersama Ulama Atjeh 1948

Beurujuk.com | Sebuah dokumen fatwa Ulama Aceh di masa pemerintahan Daud Beureueh mengenai perilaku bid’ah tersebar melalui Facebook pada Selasa (23/6/2015).

Naskah sejarah yang dibagikan seorang netizen Banda Aceh tersebut mengajak Muslimin Indonesia, khususnya warga Aceh pada Ramadhan ini bahwa, sejak dahulu, tugas ulama memang untuk meluruskan akidah Ummat. Dalam naskah ini, para Ulama Atjeh 1948 memfatwakan hal-hal apa saja yang termasuk bid’ah di masyarakat saat itu.

Maklumat Bersama

Kami ulama ulama Atjeh, Pengurus2 Agama, Hakim2 Agama dan Pemimpin2 Sekolah Islam Keresidenan Atjeh yang berlangsung mulai tgl 20-24 Maret 1948 di Kuta Radja.

Memperhatikan

Bahwa hal – hal jang tersebut di bawah ini jaitu :

1. Kenduri kematian ( kenduri pada hari kematian, kenduri djirat, kenduri seperti seunudjoh dan sebagainya.
2. Kenduri Maulid seperti jang makrup dan banyak di kerjakan di zaman lampau.
3. Kenduri pada perkuburan ( seperti pada perkuburan Tgk Di Andjong, Po tjut Samalanga, Po Tjut Di Barat dan sebagainya. Kenduri di tepi laut, di babah Djurung di bawah pohon pohon jang besar di hutan dan sebagainya jang menurut anggapan penduduk untuk melepaskan Nazar dan Tulak Bala.
4. Memberi sedekah pada hari kematian ( sedekah waktu majat turun dari rumah, setelah sembahjang djenadjah pada perkuburan dan sebagainya.
5. Mengawal Perkuburan seperti yg berlaku dan banjak di kerdjakan di zaman jang lampau.
6. Bang ( azan ) waktu memasukkan majat ke dalam kubur.
7. Membina perkuburan ( membuat tembok sekeliling kubur, membuat sesuatu Bina di atas kubur.
8. Ratib Salik dan Ratib di perkuburan seperti jang berlaku dan banjak dikerdjakan di zaman jang lampau.
9. Membaca Al Qur An di rumah orang mati, seperti adat jang telah berlaku. Begitu djuga di perkuburan telah menjadi adat jang menurut anggapan penduduk tidak boleh di tinggalkan karena di sangka termasuk dalam Agama pada hal tidak.

Mengetahui

Bahwa di dalam Agama tidak ada satu alasan atau Dalil dari kitab Allah, Sunnah Rasulullah, Idjma’ Ulama dan Kias jang menunjukkan bahwa Pekerjaan – pekerdjaan itu disuruh atau sekurang kurangnya di izinkan mengerdjakan.

Menimbang

Bahwa hal – hal tersebut :
a. Sebahagiannya merusakkan Tekad Ketauhidan Kaum Muslimin.
b. Sebahagiannya melemahkan semangat beribadat.
c. Sebahagiannya membawa kepada membuang harta pada bukan tempatnya ( Tabzir ) jang dilarang oleh Agama.
d. Umumnya mentjemarkan nama Islam dan Kaumuslimin di mata Dunia.

Memutuskan

1. Pekerdjaan tersebut tidak di izinkan oleh Agama mengerdjakannya.
2. Setjepat mungkin pekerdjaan – pekerdjaan itu mulai di tinggalkan.

Demikian supaya seluruh masyarakat Kaum Muslimin mendapat maklum dan mengamalkan keputusan ini.

Kuta Radja, 5 Mei 1948.
Atas nama Ulama – Ulama Seluruh Atjeh

dtto

( TGK M. DAUD BEUREUEH )

Atas Nama :
Pengurus2 Agama Seluruh Atjeh
Kepala Djabatan Agama Bhg Islam
dtto.

( TGK ABDURRAHMAN )

Atas nama Hakim – Hakim Seluruh Atjeh
Kepala Mahkamah Syari’ah Kres Atjeh
dtto.

( TGK H. Ahmad Hasballah Indrapuri )

Atas Nama : Pemimpin Sekolah Islam
Pemimpin Sekolah Islam Atjeh Besar
dtto

( IBRAHIM AMIN )

Di ketahui dan di setudjui oleh
Wkl Kepala Pedjabat Agama Kres Atjeh
dtto

( TGK M. NOER el IBRAHIM )

Di salin kembali oleh
Kepala Kantor Urusan Agama
Ketjamatan Bukit / Nosar Takengon.
dtto

( Abd Djalil B.H ) [tebarsuara.com]

Sejarah Yang Dihilangkan, Acehlah Yang Mendirikan Dan Lahirnya Indonesia


Daerah Aceh merupakan Modal utama dalam perjuangan kemerdekaann Republik Indonesia, karena tidak pernah dikuasai oleh musuh dan masih utuh sepenuhnya. Aceh merupakan juga daerah yang selalu menyumbang atau selalu memberi bantuan kepada Republik Indonesia; baik berupa senjata, makanan, dan pakaian untuk membantu perjuangan dalam menegakkan kemerdekaan. Unsur ajaran Islam berupa semangat jihad fisabilillah atau Perang di Jalan Allah sangat berperan dalam perang kemerdekaan Indonesia di Aceh. Hikayat Prang Sabi (Hikayat Perang Sabil), yang mendorong rakyat Aceh melawan Belanda pada Zaman Perang Belanda dahulu, juga bergema kembali pada era perang kemerdekaan Indonesia.
Tebar Suara |  Tanggal 17 Agustus 1945 Republik Indonesia di proklamirkan kemerdekaannya oleh Soekarno Hatta. Pernyataan kemerdekaan itu tidak langsung diterima baik oleh semua pihak, terutama pihak Belanda dengan gigih berusaha untuk kembali menguasai seluruh kepulauan Indonesia. Pertentangan pihak Belanda dengan Indonesia sampai menjelang tahun 1950. mereka menjalankan politik adu domba dan pecah belah diantara rakyat Indonesia dengan maksud dapat menduduki kembali seluruh kepulauan Indonesai.

Dalam upaya menjajah Indonesia kembali, Belanda menyiarkan berita-berita melalui surat kabar dan radio, bahwa kedatangan mereka ke Indonesia bukan untuk berperang dan menjajah, tetapi menjaga keamanan yang diakibatkan oleh perang Dunia II. Selain melalui siaran propaganda, pihak Belanda juga melakukan dua kali agresi bersenjata terhadap Indonesia, yaitu agresi pertama tahun 1947 dan kedua tahun 1948. Akibat serangan itu  dalam waktu relatif singkat hampir seluruh wilayah Indonesia dapat mereka duduki kembali.

Daerah yang belum mereka kuasai satu-satunya adalah Aceh, sehingga Republik Indonesia yang berusia muda itu masih mempunyai modal yang sangat kuat untuk mempertahankan kedaulatan kemerdekaannya. Belanda berkali-kali berusaha menghancurkan perlawanan rakyat Indonesia di daerah Aceh dengan pendaratan pasukannya yang selalu dapat digagalkan. Beberapa kali Belanda melancarkan serangan udara terutama terhadap komando Artileri dilapangan udara Lhok Nga dan beberapa kota lainnya, seperti Ulee Lheue, Sigli, Lhoksumawe, Langsa, Meulaboh dan Tapak Tuan, tetapi dapat di balas rakyat Indonesia di daerah Aceh dengan menggunakan meriam-meriam anti pesawat terbang.

Pasukan marinir Belanda juga selalu berusaha melakukan percobaan pendaratan pada tempat-tempat strategis dan pelabuhan-pelabuhan sepanjang pantai Aceh, seperti Ulee Lheue, Ujong Batee, Krueng Raya, Sigli, Ulee Kareueng, Lhoksumawe, Langsa, Meulaboh, Tapak Tuan dan lain-lain. Armada-armada perang Belanda yang sering beroperasi pada waktu itu, antara lain Jan Van Bukker, Ban Jan Van Gallaen.

Oleh karena kuatnya pertahanan pantai  yang dilengkapi dengan meriam-meriam pantai hasil rampasan dari tentara Jepang serta dilandasi pula oleh semangat rakyat yang bergelora, maka wilayah Aceh terus dapat dipertahankan kemerdekaannya dengan selalu mengagalkan rencana pendaratan Belanda. Untuk mengetahui situasi  di darat, Belanda sering menangkap para nelayan dengan menyeret mereka ke kapal. Rencana Belanda untuk menduduki daerah Aceh tidak pernah terlaksana sampai saat mereka mengakui kemerdekaan Indonesia pada akhir tahun 1949.

GELORA KEMERDEKAAN DI ACEH
 
Berita  proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia tidak segera diketahui di Aceh. Berita baru diketahui secara resmi oleh rakyat Aceh pada tanggal 29 Agustus 1945 setelah  kembalinya Mr. T.M. Hasan dan Dr. M. Amir dari Jakarta. Kedua orang ini mewakili pusat Republik Indonesia untuk seluruh pulau Sumatera.

Akan tetapi desa-desus mengenai berita tersebut jauh sebelumnya telah didengar oleh beberapa orang tokoh Aceh. Mereka belum berani mengumumkannya kepada masyarakat, karena masih merasa takut pada kekejaman tentera Jepang..

Setelah diketahui secara resmi tentang kekalahan Jepang dan kemerdekaan Indonesia, atas keberanian para pemuda Aceh terus mengadakan kampaye kepada rakyat untuk menyiarkan berita tersebut. Melalui usaha para pemuda pula yang dengan  beraninya mencetak berita-berita itu pada percetakan “Semangat Merdeka” serta kemudian disebarkan kepada masyarakat dengan sangat hati-hati, karena pada masa itu Jepang masih menguasai semua instansi pemerintahan.

Para pemuda melaksanakan pengambilan beberapa instansi pemerintahan Jepang seperti Kantor Percetakan “ Atjeh Shimbun”, Pemancar Radio Jepang “Hodoka” Kantor Berita Jepang “Domei” dan instansi-instansi lainnya; yang diperlukan bagi memperlancar pembentukan pemerintahan Republik Indonesia. Surat kabar “Semangat Merdeka” diterbitkan 14 Oktober 1945 oleh para pemuda untuk menyebarluaskan berita-berita proklamasi dengan cara menempel di tembok-tembok, di rumah-rumah, di toko-toko, di kantor dan sebagainya.

Pihak Sekutu yang menang perang terhadap Jepang tidak berapa lama kemudian mendarat di Indonesia dengan membonceng tentara Belanda dan NICA (Netherlands Indies Civil Administation) di belakangnya. Sebelum melakukan pendaratan, Jenderal Sir Philip Christison yang memimpin pasukan Sekutu pada tanggal 25 September 1945 menyiarkan dari Singapura melalui radio dan wawancara Pers bahwa tentara Sekutu yang mendarat di Jawa dan Sumatera tidak membawa serdadu-serdadu Belanda dan NICA. Bendera merah putih boleh di kibarkan terus dan organisasi di bawah pimpinan Soekarno tidak dilucuti senjatanya.

Jenderal Sir Philip Christison menegaskan pula, bahwa hanya ada tiga tugas dari kedatangan tentara Sekutu di Indonesia, yaitu melucuti senjata Jepang, mengembalikan orang tawanan dan tahanan Jepang; serta menjaga keamanan. Propaganda yang disiarkan oleh Christison ini berlainan sekali dengan kenyataannya. Setelah tentara Sekutu mendarat di Indonesia.mereka mengadakan tindakan-tindakan seperti merampas toko-toko, kantor-kantor pemerintah. Sekutu memperkuat pula kedudukannya di beberapa kota di Indonesia, serta melakukan kekacauan di kota-kota yang menimbulkan insiden-insiden kecil yang kemudian berubah menjadi pertempuran secara besar-besaran.

Daerah Aceh yang merupakan bagian dari wilayah Republik Indonesia, agak berbeda  dari daerah-daerah lainnya dalam mempertahankan kedaulatan negara Indonesia.. Selama berkecamuknya perang kemerdekaan, Aceh tetap dapat mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia secara keseluruhan.

Aceh di juluki sebagai Daerah Modal, bukan saja dari kekuatan-kekuatan rakyat Aceh mempertahankan tanah air, tetapi juga karena di Aceh terdapat alat komunikasi seperti pers dan radio. Dengan adanya pers dan radio mempermudah hubungan antara pemerintah daerah-daerah lain serta antara pemerintah Aceh dengan pemerintah pusat.

Daerah Aceh memang tidak berhasil di kuasai musuh, namun bukan berarti daerah ini tidak pernah di serang oleh tentara Belanda. Mereka sering melakukan serangan baik melalui udara maupun laut seperti didaerah Lhok Nga, Ujong Batee, Ulee Lheue, Lhoksumawe dan beberapa tempat lainya. Namun demikian serangan-serangan Belanda itu selalu dapat dipatahkan oleh angkatan bersenjata daerah Aceh.

Ketidakberhasilan Belanda menguasai Aceh, menyebabkan Aceh menjadi aman dan pemerintah berjalan lancar. Hal ini memberikan kesempatan kepada Aceh untuk memperbaiki dan membangun saluran komunikasi seperti pers dan radio, karena itulah melalui pers  dan  radio pemerintah Aceh dapat memberi bantuan yang pertama-tama ke daerah-daerah lain yang sedang menghadapi tentara Belanda.

Demi  kelancaran perhubungan Aceh dengan daerah-daerah lain di Indonesia, pemerintah daerah Aceh pertama sekali menggunakan media massa Post Telegram Telepon (PTT). Post Telegram Telepon sudah dikenal di Aceh semasa Belanda berkuasa di Aceh. Post Telegram Telepon mempunyai peranan dalam masa perang kemerdekaan Republik Indonesia, karena melalui media ini dapat menyampaikan suatu berita dan menerima berita secara praktis tanpa ada alat perantara.

Keberadaan telegram tersebut membuat daerah Aceh lebih percaya diri dalam rangka membantu bangsanya yang sedang berjuang mati-matian mmpertahankan kemerdekaan Republikm Indonesia. Kemudian pemrintah daerah Aceh mengirim pasukan bersenjata Aceh untuk memperkuat perlawanan terhadap  Belanda yang  penting sekali artinya di daerah lainnya.

Pemancar radio Kutaraja pada mulanya sangat sederhana bentuknya dan keadaannya. Namun demikian peranannya dalam mendorong dan membangkitkan semangat juang rakyat melawan pemerintah Belanda sangat penting sekali artinya di masa revolusi tersebut.

Ketika Belanda melancarkan agresi yang pertama ke seluruh pelosok tanah air Indonesia dan pada hari itu juga yaitu tanggal 21 Juli 1947, lapangan terbang Lhok Nga mendapat serangan dari Angkatan Udara dan Angkatan Laut, yang kemudian di ikuti dengan  beberapa daerah  pantai lainnya. Namun Belanda tetap tidak berhasil menguasai Aceh, sedangkan daerah-daerah diluar Aceh hampir keseluruhan dapat dikuasai mereka. Ketika itu peranan radio Kutaraja semakin bertambah penting kedudukannya sebagai  alat komunikasi.

Disamping radio Kutaraja, angkatan perang atau Gajah Devinisi X atas nama pemerintah daerah Aceh; walau dalam keadaan kritis ini berhasil pula mendirikan sebuah pemancar lagi yang kuat jangkauan siarannya, yaitu di kenal dengan nama Radio Rimba Raya. Melalui radio Kutaraja dan Radio Rimba Raya inilah secara bersama-sama amat  berperan dalam rangka mengorbarkan semangat kepada para prajurit di kantong-kantong gerilya yang sedang mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia.

Radio Kutaraja yang pada umumya memberi semangat kepada para pejuang yang berada digaris depan, maupun kepada masyarakat untuk memberi sumbangan untuk pembiayaan perang di sekitar daerah Aceh serta daerah-daerah lain sejauh jangkauan siarnya; dapat di terima dalam wilayah Indonesia.
.
Dalam suatu revolusi nasional atau dikenal dengan kemerdekaan Indonesia, bahwa faktor ekonomi juga sangat menentukan berhasil atau tidaknya revolusi yang sedang berlangsung. Peranan pers dan radio dalam perang kemerdekaan dibidang ekonomi adalah menyiarkan tentang kebutuhan para pejuang, agar masyarakat dapat membantunya seperti memberi sumbangan makanan, pikiran dan 
persediaan perlengkapan lainnya.
Pada bulan Juni 1948 Presiden Soekarno dalam kunjungannya ke Aceh, mengundang tokoh-tokoh pejuang, para pengusaha, dan beberapa pemuda untuk berkumpul di Hotel Atjeh. Presiden meminta kepada masyarakat Aceh untuk menyumbangkan dua buah pesawat yang sangat di butuhkan untuk kelancaran perjuangan. Dengan bantuan para saudagar, pemerintah daerah Aceh telah dapat membeli dua buah pesawat pada akhir bulan Oktober 1948 dengan nomor register RI-001. pesawat itu kemudian oleh Presiden Soekarno diberi nama “Seulawah RI-001.” Sementara pesawat satu lagi telah di hadiahkan kepada pemerintah Birma, sebagai tanda terima kasih atas semua fasilitas yang di berikan untuk perwakilan Garuda beroperasi di Birma.

PERAN ACEH DALAM PERANG KEMERDEKAAN RI
 
Perjuangan Rakyat Aceh di Medan Area. Dalam sejarah perjuangan kemerdekaan di Aceh pasukan angkatan perang Aceh tidak hanya berjuang di Aceh saja akan tetapi juga terus-menerus dikirim ke Medan atau pun ke tempat-tempat lain di Sumatera Timur(sekarang:Sumatera Utara). Di sana pasukan Aceh  berjuang di Medan Area dan berbagai medan pertumpuran yang hendak dicaplok musuh. Menghadapi tentara Belanda yang bersenjata mutakhir, panglima tentara RI Mayor Jenderal R. Suharjo Harjowardoyo menumpahkan harapan besar kepada pasukan Aceh.

Dalam sebuah telegramnya, panglima meminta kepada pemimpin rakyat Aceh supaya menyediakan terus kekuatan dari Aceh ke Medan. Pengembalian kota Medan terletak di tangan saudara-saudara segenap penduduk Aceh.

Akibat agresi pertama Belanda ini menyebabkan negara republik Indonesia dihadapkan kepada suatu tantangan besar. Dalam situasi yang krisis itu wakil Presiden Muhammad Hatta mengangkat Tgk. Muhammad Daud Breu-eh menjadi gubernur militer untuk daerah Aceh, Langkat dan Tanah Karo dengan pangkat Jenderal Mayor. Akibat agresi Belanda pertama banyak pasukan dan rakyat Sumatera Timur mengungsi ke Aceh yang masih aman dari tekanan pihak Belanda.

Pada masa Tgk. Muhammad Daud Beureu-eh menjadi Gubernur Militer Daerah Aceh, Langakat dan Tanah Karo; terjadilah agresi Belanda kedua. Pada hari pertama agresi tersebut tanggal 19 Desember 1948 Ibukota Republik Indonesia, Yogyakarta dapat di duduki oleh Belanda, Presiden Soekarno dan Wakil Prsiden Muhammad Hatta beserta beberapa menteri dan beberapa tokoh lainnya dapat ditawan oleh Belanda. Tanggal 19 Desember 1948  pemerintah memberikan kuasa kepada Mr. Syarifuddin Prawiranegara yang ketika itu berada di Bukit Tinggi untuk membentuk Pemerintah Darurat Republik Indonesia yang lebih dikenal dengan PDRI, sedangkan di Jawa dibentuk Komisariat Pemerintahan yang terdiri dari Mr. Sukiman. Mr. Susanto Tirtiprodjo.

Dengan agresi Belanda yang kedua dapat dilakatakan, bahwa hampir seluruh wilayah di Sumatera telah berada di bawah kekuasaan Belanda. Satu-satunya daerah yang masih utuh belum dimasuki Belanda adalah Daerah Aceh.

Untuk mengahadapi kekuatan Belanda di Sumatera Timur(Sumatera Utara) dan didasarkan kepada pertimbangan, bahwa lebih baik pasukan  Aceh menyerang Belanda dari pada bertahan di Aceh, Laskar berjumlah 60 orang yang diperbantukan pada batalion TRI Devisi juga dikirimkan ke kesatuan laskar Aceh dari Devisi Tgk. Chik Di Tiro, Divisi Direncong, Devisi Tgk. Chik Paya Bakong dan Tentara Pelajar. Oleh karena semakin hari semakin banyak yang datang ke Medan Area, maka terpaksa dibentuk suatu badan koordinasi yang disebut dengan RIMA (Resimen Istimewa Medan Area) yang terdiri dari 4 batalion yaitu batalion Wiji Alfisah, batalion Altileri Devisi Rencong, Devisi Tgk. Chik Di Tiro, dan Devisi Tgk. Chik Paya Bakong.

Tugas pertama dari pasukan tersebut adalah untuk merebut kembali daerah yang diduduki Belanda. Namun hal  ini kurang berhasil karena kurang terkoordinirnya pasukan  bersenjata Republik Indonesia,  bahkan sering terjadi pasukan komando itu tidak dapat menjalin kerjasama, sehingga tidak dapat menggerakkan suatu serangan yang serentak terhadap Belanda.

Walaupun tugas utamanya tidak berhasil, namun untuk menghalau gerak maju pasukan Belanda ke Aceh cukup berhasil. Ini dapat dilihat karena tidak ada satu daerah pun di Aceh dapat di duduki kembali oleh Belanda.

SUMBANGAN RAKYAT ACEH
 
Daerah Aceh merupakan daerah yang tidak pernah dikuasai oleh musuh dan merupakan modal utama Republik Indonesia dalam perjuangan kemerdekaannya. Pernyataan ini didukung kenyataan, bahwa satu-satunya daerah  dalam wilayah Republik Indonesia pada waktu itu yang  tidak pernah diduduki oleh Belanda adalah daerah Aceh. Hal ini pulalah yang dijadikan modal utama utusan Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar (KBM) di Den Haag itu, bahwa Republik Indonesia  masih memiliki wilayah bebas penguasaan Belanda.

Selain itu ucapan Presiden diatas berhubungan dengan berbagai sumbangan yang telah diberikan rakyat Aceh kepada perjuangan bangsa Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaannya, seperti sumbangan sebuah pesawat. Mengenai antusias rakyat Aceh dalam membantu pembelian pesawat udara ini di ceritakan oleh beberapa informan, bahwa rakyat begitu rela pintu rumah mereka digedor di waktu malam hari untuk menyumbangi sebagian dari emas atau barang lainnya demi untuk negara.

Pesawat yang dibeli dengan sumbangan rakyat Aceh ini diberi nama “Seulawah” yaitu nama sebuah gunung yang terdapat di perbatasan Aceh Besar dan Kabupaten Pidie, dan pesawat ini diberi nimor RI-001.

Bahwa uang yang disumbangkan rakyat Aceh untuk membeli pesawat udara jenis Dakota tersebut cukup untuk dua pesawat. Namun sebuah diantaranya masih merupakan teka-teki, karena menurut kenyataan yang ada hanya sebuah pesawat (RI-001). Menurut A. Hasjmy,  bahwa penyelewengan ini dilakukan di Singapura, tetapi pelakunya belum diketahui. Namun sebuah sumber lain menyebutkan bahwa pesawat yang satu lagi telah dihadiahkan kepada pemerintah Birma, sebagai tanda terima kasih atas semua fasilitas yang diberikan perwakilan Garuda beroperasi di Birma.

Pada mulanya pesawat ini merupakan jajaran dalam angkatan udara Republik Indonesia dan rute luar neger,i yaitu Birma dan Calkutta. Sedangkan fungsinya didalam negeri selain dapat menjembatani pulau Sumatera dan Jawa; juga untuk menerobos blokade Belanda menerbangkan tokoh-tokoh politik bangsa Indonesia.
Kemudian pada tanggal 26 Januari 1949 RI-001 menjadi pesawat komersil yang dicarter oleh Indonesia Airways, yang kemudian dikenal dengan Garuda Indonesia Airways. Adapun menagernya yang pertama adalah Wiweko Supeno.

Selain telah menyumbang pesawat udara untuk kepentingan perjuangan bangsa Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaannya, rakyat Aceh juga menyumbang kepada pemerintah Republik Indonesia berupa senjata, makanan, pakaian dan lain-lain untuk membantu perjuangan menegakkan dan mempertahankan kemerdekaan di Sumatera Timur. Pada tahun 1948 rakyat Aceh telah mengirimkan ke daerah Medan Area sebanyak 72 ekor kerbau.

Peranan Radio Rimba Raya
 
Salah satu modal perjuangan Bangsa Indonesia pada masa perang kemerdekaan adalah alat komunikasi, yaitu Radio Rimba Raya. Sejak masa awal perang kemerdekaan 1946 daerah Aceh telah memiliki sebuah pemancar radio yang ditempatkan di Kutaraja. Dan dalam perkembangan selanjutnya dalam tahun1947 ditambah sebuah pemancar lagi yang ditempatkan di Aceh Tengah dan dikenal dengan nama Radio Rimba Raya. Kedua pemancar ini telah memegang peranan cukup besar pada masa perang kemerdekaan, sehingga sarana ini dapat dikatakan Modal Perjuangan Bangsa Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaannya.

Mengenai Radio Republik Indonisia Kutaraja,  pertama kali mengumandang di udara pada tanggal 11 Mei 1947 dengan kekuatan 25 watt melalui gelombang 68 meter. Jangkauan siarannya hanya sekitar Kutaraja, namun dalam perkembangannya tahun 1947 radio ini berhasil di kembangkan menjadi 100 watt, yang jangkauan siarannya sampai ke kota Medan dan Bukti Tinggi. Selanjutnya pada bulan  April 1948 radio ini di kembangkan lagi hingga menjadi 325 watt dan mengudara melalui gelombang 33,5 meter dan penyiarannya sudah dapat di tangkap di luar negeri. Ketika Dewan Keamanan Perserikatan  Bangsa-bangsa (PBB)  bersidang membicarakan masalah pertikaian antara Republik Indonesia dengan Belanda, Radio Republik Indonesia Kuta Raja ini  berulang-ulang mengadakan siaran  dengan menyiarkan hasrat/keinginan dan tekad bangsa Indonesia dalam mempertahankan  kemerdekaannya.

Mengenai Radio Rimba Raya berbeda dengan Radio Republik Indonsia Kutaraja. Pemancar Radio Rimba Raya ini mempunyai kekuatan cukup besar yaitu 1 kilowatt yang dikelola oleh Devisi X TNI yang dipimpin Mayor John Lie.

Pemancar ini pertama sekali dipasang di Krueng Simpo sekitar 20 km dari kota Takengon, kemudian atas perintah Gubernur Militer radio ini dipindahkan ke Cot Gu (Kutaraja). Lalu dipindahkan lagi ke Aceh Tengah karena para pemimpin memperkirakan, bahwa pada gilirannya Belanda akan menyerbu ke Aceh. Radio ini di tempatkan di sebuah gunung yang dikenal dengan Burmi Bius yang letaknya 10 km dibagian barat kota Takengon.

Dalam waktu singkat sesuai dengan suasana yang mencekam dan kebutuhan mendesak, pemancar Radio Rimba Raya selesai di bangun yang dikerjakan oleh W. Schultz seorang warga negara RI keturunan Indonesia-Jerman bersama rekannya. Maka semenjak itulah ketika pemancar-pemancar utama di berbagai kota tidak mengudara lagi; karena dikuasai Belanda, maka  Radio Rimba Raya mengisi kekosongan ini dengan hasil yang baik sekali.

Ketika radio Batavia dan  Radio Hilversum memberitakan bahwa Republik Indonesia sudah tidak ada lagi, karena setelah Yogyakarta dapat direbut disusul pula dengan jatuhnya daerah-daerah kekuasaan Republik Indenesia lainnya, Radio Rimba Raya membantah dengan tegas, yang menandaskan “Bahwa Republik Indonesia masih ada, Tentara Republik Indonesia masih ada, Pemerintah Republik Indonesia masih ada, dan wilayah Republik Indonesia masih ada.” Dan disini, adalah Aceh, salah satu wilayah Republik Indonesia yang masih utuh sepenuhnya”,kata siaran radio tersebut. Berita ini dikutip oleh All India Radio; kemudian menyiarkan lagi, sehingga dunia pun mengetahui kebohongan Belanda.

Sumber: khabarpopuler/AMP

BARAT


Top