ads

Berita

NAD

Nasional

Internasional

Dunia Islam

Tuliasan%20Anda

Air susu di balas dengan air tuba,sejarah soekarno dan abu daud beu'reu'eh

soekarno dan abu daud beu'reu'eh
penulis muhammad nadir(seulanga media)

seulanga media kali ini kembali mengingatkan kepada kita semua tentang sejarah agar sejarah ini tidak kita lupakan
Jauh sebelum NKRI berdiri, Aceh Darussalam telah berdaulat sebagai sebuah kerajaan merdeka dan bahkan menjadi bagian dari kekhalifahan Turki Utsmaniyah.
Hal ini sungguh-sungguh disadari Soekarno sehingga dia mengajak dan membujuk Muslim Aceh untuk mau bergabung dengan rakyat Indonesia guna melawan penjajah Belanda.
Saat berkunjung ke Aceh tahun 1948, Bung Karno dengan sengaja menemui tokoh Aceh, Daud Beureueh. Bung Karno selaku Presiden RI menyapa Daud Beureueh dengan sebutan “Kakanda (kakak)” dan terjadilah dialog yang sampai saat ini tersimpan dengan baik dalam catatan sejarah:
Presiden Soekarno : “Saya minta bantuan Kakak agar rakyat Aceh turut mengambil bagian dalam perjuangan bersenjata yang sekarang sedang berkobar antara Indonesia dan Belanda untuk mempertahankan kemerdekaan yang telah kita proklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945.”
Daud Beureueh : “Saudara Presiden! Kami rakyat Aceh dengan segala senang hati dapat memenuhi permintaan Presiden asal saja perang yang akan kami kobarkan itu berupa perang sabil atau perang fisabilillah, perang untuk menegakkan agama Allah sehingga kalau ada di antara kami yang terbunuh dalam perang itu maka berarti mati syahid.”
Presiden Soekarno : “Kakak! Memang yang saya maksudkan adalah perang yang seperti telah dikobarkan oleh pahlawan-pahlawan Aceh yang terkenal seperti Teungku Cik Di Tiro dan lain-lain, yaitu perang yang tidak kenal mundur, perang yang bersemboyan merdeka atau syahid.”
Daud Beureueh : “Kalau begitu kedua pendapat kita telah bertemu Saudara Presiden. Dengan demikian bolehlah saya mohon kepada Saudara Presiden, bahwa apabila perang telah usai nanti, kepada rakyat Aceh diberikan kebebasan untuk menjalankan Syariat Islam di dalam daerahnya.”
Presiden Soekarno : “Mengenai hal itu Kakak tak usah khawatir. Sebab 90% rakyat Indonesia beragama Islam.”
Daud Beureueh : “Maafkan saya Saudara Presiden, kalau saya terpaksa mengatakan bahwa hal itu tidak menjadi jaminan bagi kami. Kami menginginkan suatu kata ketentuan dari Saudara Presiden.”
Presiden Soekarno : “Kalau demikian baiklah, saya setujui permintaan Kakak itu.”
Daud Beureueh : “Alhamdulillah. Atas nama rakyat Aceh saya mengucapkan terima kasih banyak atas kebaikan hati Saudara Presiden. Kami mohon (sambil menyodorkan secarik kertas kepada presiden) sudi kiranya Saudara Presiden menulis sedikit di atas kertas ini.”
Daud Beureu'eh
Mendengar ucapan Daud Beureueh itu Bung Karno langsung menangis terisak-isak. Airmata yang mengalir telah membasahi bajunya. Dalam keadaan sesenggukan,
Soekarno berkata, : “Kakak! Kalau begitu tidak ada gunanya aku menjadi presiden. Apa gunanya menjadi presiden kalau tidak dipercaya.” Dengan tetap tenang, Daud Beureueh menjawab, “Bukan kami tidak percaya, Saudara Presiden. Akan tetapi sekadar menjadi tanda yang akan kami perlihatkan kepada rakyat Aceh yang akan kami ajak untuk berperang.”
Sambil menyeka airmatanya, Bung Karno berjanji,
Bung Karno berjanji : “Wallah Billah (Demi Allah), kepada daerah Aceh nanti akan diberi hak untuk menyusun rumah tangganya sendiri sesuai dengan Syariat Islam. Dan Wallah, saya akan pergunakan pengaruh saya agar rakyat Aceh benar-benar dapat melaksanakan Syariat Islam di dalam daerahnya. Nah, apakah Kakak masih ragu-ragu juga?”
Daud Beureueh menjawab, : “Saya tidak ragu Saudara Presiden. Sekali lagi, atas nama rakyat Aceh saya mengucapkan banyak terima kasih atas kebaikan hati Saudara Presiden.”
Dalam suatu wawancara yang dilakukan M. Nur El Ibrahimy dengan Daud Beureueh, Daud Beureueh menyatakan bahwa melihat Bung Karno menangis terisak-isak, dirinya tidak sampai hati lagi untuk bersikeras meminta jaminan hitam di atas putih atas janji-janji presiden itu.
Soekarno mengucapkan janji tersebut pada tahun 1948. Setahun kemudian Aceh bersedia dijadikan satu provinsi sebagai bagian dari NKRI. Namun pada tahun 1951, belum kering bibir mengucap, Provinsi Aceh dibubarkan pemerintah pusat dan disatukan dengan Provinsi Sumatera Utara.
Jelas, ini menimbulkan sakit hati rakyat Aceh. Aceh yang porak-poranda setelah berperang cukup lama melawan Belanda dan kemudian Jepang, lalu menguras dan menghibahkan seluruh kekayaannya demi mempertahankan keberadaan Republik Indonesia tanpa pamrih, oleh pemerintah pusat bukannya dibangun dan ditata kembali malah dibiarkan terbengkalai.
Bukan itu saja, hak untuk mengurus diri sendiri pun akhirnya dicabut. Rumah-rumah rakyat, dayah-dayah, meunasah-meunasah, dan sebagainya yang hancur karena peperangan melawan penjajah dibiarkan porak-poranda. Bung Karno telah menjilat ludahnya sendiri dan mengkhianati janji yang telah diucapkannya atas nama Allah. Kenyataan ini oleh rakyat Aceh dianggap sebagai kesalahan yang tidak pernah termaafkan.

Kepentingan Jokowi di Pilkada Aceh?

Beurujuk.com | Aceh bukanlah satu daerah yang berpenduduk besar, sehingga mampu mempengaruhi peta politik nasional. Tapi jika dilihat Aceh dari sudut pandang yang berbeda, Aceh sangat berpengaruh secara nasional. Pengaruh Aceh ditinjau dari sejarah sangat kuat dan memiliki ikatan emosional dengan kisah kelahiran negara ini. Tidak sebatas itu saja, Aceh juga satu-satunya provinsi yang tidak mampu ditaklukan oleh kolonial Belanda dan karena itu Aceh menjadi kunci keutuhan NKRI dan stabilitas keamanan. Keberadaan Aceh menjadi perekat bagi provinsi lain di Indonesia. Tidak salah jika Aceh dilabelkan sebagai Center of Gravity (COG) Indonesia.
Faktanya provinsi paling ujung ini mampu berkontribusi dan mempengaruhi dinamika politik nasional. Dibuktikan hadirnya calon perorangan/independent sebagai terobosan baru dalam sistem perpolitikan di Indonesia. Tidak sebatas itu saja, hadirnya kebijakan politik bersifat asimetris mewarnai sekaligus mempengaruhi politik nasional.
Hal lain dari Aceh yang dipraktekkan secara nasional adalah pelaksanaan Pilkada serentak. Aceh mempopulerkan Pilkada serentak, walaupun Sumatra Barat yang pertama mempraktekan Pilkada serentak. Desain dari pelaksaan Pilkada serentak oleh pemerintah terbagi ke dalam beberapa fase pelaksaaan dimulai dari tahun 2015, 2017, 2018, dan 2019.
Di analisis ini mendalami bagaimana relasi kepentingan Jokowi secara politik kepada pelaksanaan Pilkada serentak tahun 2017 nantinya.
Basis kepentingan Jokowi terhadap Provinsi Aceh harus di baca ke dalam political interests yang terbagi ke internal (personal) dan eksternal (negara/pemerintah). Dalam pendekatan teori political interests, menurut Matthew Holleque (2011) dalam artikelnya berjudul Rethinking the Stability of Political Interest, University of Wisconsin. Dirinya mengatakan kepentingan politik (political interests) salah satu prediktor prediksi paling kuat dan gigih dari partisipasi politik sekaligus sebagai sesuatu yang paling dibutuhkan oleh warga dalam berdemokrasi.
Logika politiknya, berbicara politik harus sejalan dengan kepentingan. Karena dimensi politik selalu bermuara pada kepentingan personal maupun skala besar negara ataupun kelompok tertentu. Disinilah berbagai bentuk kepentingan personal maupun negara secara politik beragam. Ia bisa selaras antara kepentingan personal maupun kepentingan negara/pemerintah, tetapi bisa berbeda tujuan dan manfaatnya. Semua sesuai kebutuhan yang diselimuti kepentingan itu sendiri.
Kepentingan Negara/Pemerintah
Berbicara kepentingan negara/pemeritah terhadap Aceh terbagi dua hal, yaitu menjaga keberlanjutan perdamaian di Aceh dan menjaga stabilitas keamanan. Kedua hal itu sangat diperlukan oleh pemerintah nasional. Dikarenakan jika Aceh bergejolak dan masuk ke pusaran konflik kembali, maka energi besar dari pemerintah nasional terkuras lagi. Energi kuras disini harus difahami waktu, tenaga, anggaran, dan lain-lain. Memastikan keberlangsungan perdamaian harus dipastikan pada aktor yang berkuasa secara politik siapa pun dirinya. Bagi si aktor politik harus berkomitmen serta bekerja untuk menjaga keberlangsungan perdamaian, menjaga keamanan, dan bagus komunikasinya dengan pemerintah nasional. Metode (caranya) sangat disesuaikan kebutuhan lapangan dan berkesinambungan.
Kepentingan Personal
Sosok personal Jokowi dalam logika rasional (rational logic), tentunya memiliki kepentingan di Aceh. Kepentingan personal dirinya untuk mempersiapkan infrastruktur politik di tahun 2019 periode kedua kepemimpinannya. Walaupun bukan ditinjau jumlah suara masyarakat Aceh yang diperoleh bagi Jokowi, tetapi legitimasi dukungan masyarakat Aceh sangat berpengaruh secara nasional. Kehadiran negara ini, jika tidak didukung secara teritorial kewilayahan dari Aceh dalam bingkai NKRI.
Maka berpotensi besar terjadinya disintegrasi bangsa, dimana Aceh pisah dari Indonesia berpeluang provinsi lain ikutserta memisahkan diri dari Indonesia. Kuncinya Aceh dan Papua, tidak salah kedua provinsi ini mendapatkan perlakuan khusus. Sejarah membukti kontribusi besar Aceh terhadap eksistensi Indonesia luar biasa besar. Jadi kesimpulnya, bahwa dukungan penuh masyarakat Aceh di Pilpres 2019 untuk Jokowi sangatlah strategis.
Kepentingan Pilkada
Dalam konteks Pilkada di Aceh kepentingan Jokowi hadir, dikarenakan persiapan infrastruktur politik di periode kedua dirinya menjabat sebagai presiden di tahun 2019. Saat ini bermunculan kandidat yang berkeinginan menjadi gubernur Aceh mendatang periode 2017-2022, terdiri dari Abdullah Puteh, Ahmad Farhan Hamid, Irwandi Yusuf, Muzakir Manaf, Tarmizi Karim, T. M. Nurlif, Zaini Abdullah, dan Zakaria Saman.
Jika membaca arah dukungan Jokowi berpedoman kepada kepentingan partai yang tergabung di Koalisi Indonesia Hebat. Masalahnya hasil amatan menunjukan dukungan dari partai yang tergabung di KIH terpecah kepada dua kandidat yakni Irwandi Yusuf dan Tarmizi Karim. Pemetaan usungan partai sementara dan belum final, tapi sudah mengkristal terbagi Irwandi Yusuf diusung dari Partai Demokrat, Partai Nasional Aceh, Partai Damai Aceh.
Ada satu partai yang berubah haluan mendukung Irwandi Yusuf yaitu PPP, awalnya arahnya ke Tarmizi Karim. Satu partai lagi yakni Golkar dalam posisi tarik menarik ke Muzakir Manaf atau Irwandi Yusuf. Posisi T. M. Nurlif tidak maju jadi gubernur, tapi kemungkinannya wakil gubernur atau direduksi ke dua kandidat itu. Karena amatan publik dari berbagai informasi mengerucut ke kedua kandidat itu, bukan ke Tarmizi Karim.
Sedangkan arah usungan partai ke Tarmizi Karim hanya terdiri dari Nasdem, PAN, dan PKPI. Sisa partai kecil di parlemen Aceh dan partai tidak ada kursi akan merapat kedua kandidat tersebut. Catatan pentingnya semua partai di kedua kandidat belum dikeluarkan surat resmi mengusung dari DPP. Jadi peta politik masih bisa berubah di last minute.
Kembali menganalisis arah dukungan Jokowi ke kandidat gubernur Aceh. Kemungkinan besar dukungan Jokowi hanya berpusat pada Irwandi Yusuf dan Tarmizi Karim. Logika politiknya, karena keduanya berada dalam dukungan dan usungan partai yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Hebat. Kenapa hanya kedua orang itu, karena Muzakir Manaf diklaim masuk gerbong Koalisi Merah Putih. Partai pengusung Gerindra, PKS, dan PA. Kandidat lain maju melalui jalur independent, tetapi tidak menutup peluang Jokowi memasang dua kaki mendukung kandidat gubernur Aceh. Salah satunya dari jalur perorangan, karena Zaini Abdullah maupun Zakaria Saman memiliki andil memenangkan Jokowi di Aceh ketika Pilpres 2014. Bisa saja, karena politik balas budi agar menjaga perasaan kedua kedua kandidat dari jalur perorangan itu.
Jika dalam pertimbangan Jokowi mengarahkan dukungan dan membantu salah satu kandidat gubernur. Ada dua hal patut dicermati secara logika rasional (rational choice), pertama jika pertimbangan Jokowi berdasarkan hasil survei tertinggi, maka pilihan jatuh ke Irwandi Yusuf. Tetapi jika pertimbangan Jokowi pada aspek kepentingan lainnya, maka arahnya ke Tarmizi Karim.
Tentunya Jokowi sebelum memberikan restu dukungan dan membantu kedua kandidat itu, langkah awal dari tim inti Jokowi akan menganalisis keduanya dengan pendekatan analisis SWOT. Dari kajian analisis SWOT Jaringan Survei Inisiatif memetakan kekuatan, kelemahan, peluangan, dan ancaman. Dalam analisis ini hanya fokus ke kekuatan dan kelemahan.
Untuk kandidat Tarmizi Karim secara kekuatan/modalitas dirinya memiliki kapasitas intelektual, jaringan internasional, kalangan birokrat, memiliki finasial, dekat dengan akses nasional, berpengalaman dijabatan eksekutif, dan berkarakter pemimpin. Ditinjau dari kelemahan Tarmizi Karim meliputi; belum sangat mengakar di grass root dilihat dari hasil survei, belum memiliki terobosan program nyata bukan bangunn fisik selama menjadi bupati, masih lemah relasi dan akses ke kalangan GAM dan eks kombatan (bukan orang beberapa saja), terindikasi adanya kasus korupsi (tracking google cukup banyak) walau belum jelas pembuktian, dan kurang lihai menjaga hubungan personal maupun kelompok tertentu.
Sedangkan sosok kandidat Irwandi Yusuf dari segi modalitas/kekuatan diidentifikasikan, sebagai berikut; sudah berkarya dan banyak program terobosan, memiliki akses ke lingkaran penguasa di nasional, memiliki jaringan internasional, memiliki ketegasan dan faham menjalanan tata kelola pemerintahan, memiliki partai lokal, memiliki elektabilitas dan popularitas yang tinggi di pemilih Aceh, berintelektual, merakyat, dan masih banyak dukungan dari kalangan GAM dan kombatan.
Untuk kelemahannya Irwandi Yusuf tergambarkan, bahwa dirinya lemah secara kemampuan finansial, struktur pemenangan tidak terkontrol dan tersistematis, terjebak beban klaim kalangan GAM dan Kombatan, tidak memiliki media, belum memiliki thinktank, dan terindikasi korupsi walau belum jelas pembuktian hukumnya.
Yang pasti, siapa yang bisa menyakinkan Jokowi melalui komunikasi politik. Tentunya menyakinkan Jokowi dalam memberikan garansi bagi Aceh dalam perihal, bahwa Aceh aman, maju di pembangunan, kesejahteraan rakyat meningkat, perekonomian perkembang, dan stabilitas keamanan terjaga. Semua itu menjadi syarat utama dukungan dan bantuan Jokowi ke kandidat guburnur mendatang. Satu hal sangat penting sekali sosok gubernur Aceh di dukung serta dibantu, ketika sang kandidat gubernur memiliki kemampuan bekerjasama dengan pemerintah nasional (pusat).
Kesimpulannya, seorang Jokowi akan mempertimbangkan seluruh aspek, termasuk kemungkinan-kemungkinan ke depannya dalam berbagai lini dengan tujuan membawa perubahan Aceh menjadi lebih baik ke depannya. Khususnya prioritas menjaga stabilitas politik, karena jika terjadi gejolak dan memicu situasi keamanan tidak kondusif, sehingga menghambat proses perubahan lebih baik bagi Aceh dari aspek pembanguan dan kebijakan. Jadi keberadaan Aceh bukan sebagai Center of Gravity buat Indonesia, tapi juga harus menghasilkan dari Pilkada 2017 sosok pemimpin yang menjadi COG dalam skala mikro. [Sumber: Acehtrend]

Antara Serambi Mekkah dan Mak Kah

Oleh: ADNAN YAHYA*
Beurujuk.com | Aceh dikenal dengan julukan Serambi Mekkah. Sebuah julukan apresiatif dari berbagai pihak terhadap keistimewaan Aceh sejak masa kerajaan Aceh hingga saat ini.
Konon, para sejarawan menganalisa beberapa penyebab julukan tersebut disematkan kepada Aceh, diantaranya, pertama, Aceh merupakan tempat Islam pertama singgah di Nusantara tepatnya di Pantai Timur Aceh (Peureulak dan Pasai). Kedua, konon Mufti Turki pernah mengakui bahwa kerajaan Aceh merupakan pengayom kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara tempo dulu.Ketiga, pelabuhan Aceh pernah menjadi pusat pemberangkatan jamaah haji dan pusat perdagangan nusantara. Keempat, Aceh merupakan daerah yang sangat kental dengan ‘ajaran Islam’.Kelima, Aceh pernah menjadi pusat pengembangan ilmu pengetahuan Islam nusantara tatkala didirikan Jami’ah Baiturrahman.
Namun apapun alasannya, yang pasti julukan apresiatif tersebut perlu dijaga dan dirawat oleh masyarakat Aceh. Agar Aceh yang diharapkan sesuai dengan harapan dan realitas masyarakatnya. Jangan sampai julukan tersebut hanya menjadi ungkapan ‘kebanggaan simbolik’ semata namun tidak subtantif dalam praktik di lapangan.
Jangan sampai julukan Serambi Mekkah berubah menjadi ‘Serambi Mak Kah’ hanya disebabkan oleh perilaku oknum tertentu. Sebab, memelihara sebuah penghargaan atas prestasi lebih sulit daripada menggapai prestasi tersebut.
Oleh karena itu, Aceh akan menjadi ‘Serambi Mak Kah’ ketika Aceh mau ‘dikuasai’ dan ‘diduduki’ oleh individu dan golongan tertentu sedang individu dan golongan yang lain tidak diboleh. Mereka mengira Aceh milik pribadi dan golongan. Berikut karakteristik ‘Serambi Mak Kah’, yaitu pertama, ketika pemerintah berubah menjadi diperintah. Artinya, pemerintah tidak lagi menjadi subyek namun hanya menjadi obyek. Pemerintah tidak lagi pemberani namun hanya penakut.
Pemerintah tidak lagi menjadi lapangan bola bagi seluruh masyarakat walaupun sesuai aturan, namun hanya menjadi bola yang bisa ditendang oleh siapa saja tergantung yang menguasainya. Dalam bahasa lain, pemerintah Aceh baik tingkat provinsi hingga tingkat gampong ‘kalah’ dengan para oknum dan golongan provokator perusak kedamaian dan kesejukan antar-masyarakat dan golongan. Karena itu, pemerintah tidak boleh tergiur dengan bisikan setan bertopeng manusia.
Pemerintah Aceh hanya boleh diperintah oleh Undang-Undang sebagai konstitusi negara, dan Allah Swt sebagai Tuhan para pemegang tampuk pemerintahan Aceh disegala tingkatan.
ACEH dikenal dengan julukan Serambi Mekkah. Sebuah julukan apresiatif dari berbagai pihak terhadap keistimewaan Aceh sejak masa kerajaan Aceh hingga saat ini.
Konon, para sejarawan menganalisa beberapa penyebab julukan tersebut disematkan kepada Aceh, diantaranya, pertama, Aceh merupakan tempat Islam pertama singgah di Nusantara tepatnya di Pantai Timur Aceh (Peureulak dan Pasai). Kedua, konon Mufti Turki pernah mengakui bahwa kerajaan Aceh merupakan pengayom kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara tempo dulu.Ketiga, pelabuhan Aceh pernah menjadi pusat pemberangkatan jamaah haji dan pusat perdagangan nusantara. Keempat, Aceh merupakan daerah yang sangat kental dengan ‘ajaran Islam’.Kelima, Aceh pernah menjadi pusat pengembangan ilmu pengetahuan Islam nusantara tatkala didirikan Jami’ah Baiturrahman.
Namun apapun alasannya, yang pasti julukan apresiatif tersebut perlu dijaga dan dirawat oleh masyarakat Aceh. Agar Aceh yang diharapkan sesuai dengan harapan dan realitas masyarakatnya. Jangan sampai julukan tersebut hanya menjadi ungkapan ‘kebanggaan simbolik’ semata namun tidak subtantif dalam praktik di lapangan.
Jangan sampai julukan Serambi Mekkah berubah menjadi ‘Serambi Mak Kah’ hanya disebabkan oleh perilaku oknum tertentu. Sebab, memelihara sebuah penghargaan atas prestasi lebih sulit daripada menggapai prestasi tersebut.
Oleh karena itu, Aceh akan menjadi ‘Serambi Mak Kah’ ketika Aceh mau ‘dikuasai’ dan ‘diduduki’ oleh individu dan golongan tertentu sedang individu dan golongan yang lain tidak diboleh. Mereka mengira Aceh milik pribadi dan golongan. Berikut karakteristik ‘Serambi Mak Kah’, yaitu pertama, ketika pemerintah berubah menjadi diperintah. Artinya, pemerintah tidak lagi menjadi subyek namun hanya menjadi obyek. Pemerintah tidak lagi pemberani namun hanya penakut.
Pemerintah tidak lagi menjadi lapangan bola bagi seluruh masyarakat walaupun sesuai aturan, namun hanya menjadi bola yang bisa ditendang oleh siapa saja tergantung yang menguasainya. Dalam bahasa lain, pemerintah Aceh baik tingkat provinsi hingga tingkat gampong ‘kalah’ dengan para oknum dan golongan provokator perusak kedamaian dan kesejukan antar-masyarakat dan golongan. Karena itu, pemerintah tidak boleh tergiur dengan bisikan setan bertopeng manusia.
Pemerintah Aceh hanya boleh diperintah oleh Undang-Undang sebagai konstitusi negara, dan Allah Swt sebagai Tuhan para pemegang tampuk pemerintahan Aceh disegala tingkatan.
Keempat, ketika merebut masjid lebih penting daripada memakmurkan masjid. Padahal masjid bukan untuk direbut-rebut namun hanya untuk dimakmurkan dengan agenda keummatan. Prinsipnya, siapapun yang menjadi pengurus masjid tidak menjadi persoalan, selama masjid itu dimakmurkan dengan agenda keummatan.
Siapapun yang mengelola dan menguasai masjid tidak menjadi permasalahan, selama masjid itu mempraktikkan perintah Allah Saw dan sunnah Nabi Muhammad Saw. Maka yang prioritas adalah memakmurkan masjid setelah dirikan, bukan merebut dan meributkan masjid ketika hendak didirikan.
Kelima, ketika individu mengklaim diri paling benar. Poin kelima ini merupakan penyakit yang sudah mendarah daging di masyarakat ‘awam’. Mereka menganggap pemahaman mereka paling benar dan yang lain salah. Menganggap diri dan golongan sendiri paling ahlussunnah wal jamaah sedang orang dan golongan lain ahlunnar yang harus diperangi.
Padahal, berapa banyak orang yang mengakui diri sebagai ahlussunnah wal jamaah tetapi tidak pernah shalat, puasa jarang, berzakat malas, tidak pernah hadir ke pengajian, shalat berjamaah di masjid tidak pernah dilaksanakan, dan amalan-amalan sunnah tidak pernah dipraktikkan. Sebenarnya mereka lebih berhak untuk ‘diperangi’.
Persoalan ini menurut hemat saya, disebabkan oleh pemahaman keliru dan sepihak yang diterima oleh masyarakat ‘awam’. Mereka mendapatkan informasi yang kurang akurat terhadap ormas-ormas Islam yang ada di Aceh. Sehingga muncul rentetan peristiwa perebutan dan pelarangan pendirian masjid. Semisal yang terjadi di Juli, Keude Dua, Kabupaten Bireuen, dimana sekolompok masyarakat menolak masjid yang akan dikelola oleh Persyarikatan Muhammadiyah dengan alasan Muhammadiyah bukan ahlussunnah wal jamaah. Ini merupakan pemahaman yang sangat keliru.
Padahal, muhammadiyah bukanlah agama baru. Muhamamdiyah bukanlah aliran baru. Muhammadiyah bukan ‘firqah’ baru. Muhammadiyah bukan pula organisasi baru, umurnya lebih tua dari NU (Nadlatul Ulama), didirikan sejak 1912. Muhammadiyah sama dengan organisasi Islam lain di Indonesia. Muhammadiyah hanya gerakan Islam dengan tujuan untuk mewujudkan Islam yang sebenar-benarnya di kalangan umat Islam. Membaca dan belajar langsung ke sejumlah referensi yang dikeluarkan Muhammadiyah merupakan modal dasar untuk mengenal Muhammadiyah secara utuh.
Oleh karena itu, mari kita rawat dan jaga bersama-sama julukan Serambi Mekkah untuk Aceh. Jangan sampai Serambi Mekkah berubah menjadi ‘Serambi Mak Kah’ hanya karena oknum-oknum tertentu yang tidak bertanggungjawab. Semoga! (Serambi)
*) Penulis Merupakan Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, asal Blang Jruen, Aceh Utara. Email: adnanyahya50@yahoo.co.id]

Daud Beureueh Bapak Kesadaran Aceh

Daud Beureueh Bapak Kesadaran Aceh - daud-beureueh_20160622_121423.jpg
Oleh: MUHAMMAD ALKAF*
Beurujuk.com | DAUD BEUREUEH adalah kepada siapa tokoh Aceh di awal abad ke 20 belajar dan menunjukkan rasa kesetiannya. Mulai dari Husin Al-Mujahid, M. Ali Piyeung, Ali Hasjmy, Ayah Gani hingga para pelajar di Normal Islam Institute, Bireuen.
Hasan Saleh, misalnya, memiliki rasa hormat yang besar kepada gurunya di Madrasah Sa'adah Abadiah Sigli itu. “Indonesia tidak akan merdeka kalau tidak ada Daud Beureueh,” katanya lugas.
Betapapun diantara keduanya memiliki pandangan politik yang berbeda tajam. Hasan Saleh tidak sendiri dalam memberi pemaknaan kepada Daud Beureuh. Peneliti asal Amerika, Boyd R. Comton bahkan memberikan penjelasan yang lebih bertenaga lagi tentang tokoh utama Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) itu. Menurut Compton, Daud Beureuh itu adalah Singa Aceh.
Daud Beureueh lahir dan tumbuh di saat Aceh berada dalam pendudukan Belanda. Dia dapat dikatakan, melihat secara langsung kedukaan yang mendalam dari orang Aceh karena hal tersebut. Sebuah suasana kebatinanyang oleh Ibrahim Alfian digambarkan sebagai “kehancuran, depresi dan sakit mental” (Reid, 2012: 13).
Lahir dalam kondisi demikian, maka Daud Beureueh, tentu bersama angkatannya, bangkit untuk kembali membangun Aceh yang sudah porak poranda itu. Untuk mendorong agendanya tersebut, maka Daud Beureueh-pun, menggunakan istilah dari Fachry Ali, meminjam tangan dari luar.
Yang dimaksud “meminjam tangan dari luar” adalah gagasan pembaharuan dari gerakan Islam modernis, hal yang telah terlebih dahulu berkembang di kawasan lainnya di Indonesia: Sumatera Barat dan Yogyakarta. Perjumpaan Daud Beureuehdengan gagasan pembaharuan itu sebenarnya menarik.
Daud Beureueh, juga tokoh lain seperti A. Wahab Seulimeum dan Syeikh Ibrahim Lamnga, tidak mendapatkan pendidikan modern secara langsung. Namun mereka mampu menangkap setiap dentuman dari semangat kemoderenan itu, lalu, menjadikannya sebagai inspirasi dan corak berfikirnya pula.
Compton sendiri menyaksikan, sampai dua dekade setelah Daud Beureueh menggerakkan pembaruan Islam di Aceh, dia masih saja tegak berdiri di atas rel-nya itu. “Daud Beureuh bicara dengan gelora dan kesungguhan tentang perlunya pembaharuan,” kata Compton.
Gagasan modernisme Islam yang didorong oleh Daud Beureueh, harus dipahami dalam konteks kesejarahan paska selesainya Perang Kolonial dengan Belanda. Dimana, dalam formasi dari Paul Van’t Veer, perang tersebut berlangsung tanpa henti, dari tahun 1873 ke tahun 1942. Sehingga dapat dikatakan, gerakan modernisme Islam di Aceh, sungguh berbeda dengan daerah lainnya, yang memiliki pengalaman serupa.
Modernisme Islam di Aceh berkelindan dengan gerakan politik, yang nantinya berujung kepada pembebasan dari jeratan praktik kolonialisme dan imperiarialisme bangsa asing. Jadi tentu saja, kita tidak dapat membayangkan bagaimana nasib Aceh, apabila, generasi Daud Beureueh tidak mengapresiasi kehadiran modernisme Islam kala itu.
Secara konsep, dan begitu pula praktiknya di Aceh, gagasan modernisme Islam adalah sebuah bangunan utuh tentang Islam dari berbagai aspek kehidupan. Yang kemudian diterjemahkan dalam dua aspek sekaligus; individu dan sosial politik. Secara individu, dibangunlah sebuah gugusan keberagamaan yang menekankan perlunya pemurnian tauhid dari jebakan takhyul dan khurafat. Lalu, diikuti pula dengan pembersihan ibadah yang dipenuhi praktik bid’ah.
Kemudian, konsekuensi logis dari permunian tauhid itu adalah pembebasan secara sosial dan politik. Dari situlah kemudianDaud Beureueh memimpin sebuah gerakan zaman baru di Aceh melalui organisasi PUSA.
Hal pertama yang dilakukannya adalah mendorong cara berfikir yang berkemajuan, melalui pendirian madrasah-madrasah, sebagai bentuk modernisasi dunia pendidikan di Aceh. Atas usahanya tersebut, yang dianggap sebagai membebaskan Aceh dari zaman kegelapan, maka Daud Beureueh diberi gelar sebagai “Bapak Kesadaran Aceh” (Isa Sulaiman, 1997: 49).
Kepercayaan Daud Beureueh terhadap Islam, yang didapatkannya dari semangat kemoderenan itu, digambarkan dengan apik oleh seorang intelektuil soliter di Aceh.
Baginya, Daud Beureueh adalah orang yang percaya ke “dalam,” yaitu Islam, sebagai jawaban untuk membangun Aceh yang lebih baik.
Maka dari itu, sampai akhir perjuangan Darul Islam, dia masih percaya dengan kekuatan Islam, sebagai basis kesadaran bagi manusia Aceh. Hal itu ditunjukkan melalui, apa yang disebutnya sebagai, Tuntutan Dasar Muqaddimah Pelaksanaan Unsur-unsurSyariat Islam.
Pokok-pokok pikiran yang ditulisnya pada tanggal 9 April 1962 itu, memiliki gagasan dasar tentang falsafah kehidupan manusia Aceh, yaitu, ketika Daud Beureuh memberi penekanan dengan kalimat sebagai berikut:
“Ketahuilah wahai rakjat Atjeh jang terjinta, bahwa Sjari’at Islam tjukup luas sempurna dan hidup, mentjukupi segala bidang hidup dan kehidupan manusia."  (Serambi) [tebarsuara.com]
 *) Dosen Politik Islam di IAIN Langsa dan Peneliti di Aceh Institute. Aktif menuliskan pikiran-pikirannya mengenai politik, sejarah dan biografi.

Selisik Pilkada Jualan Agama

Oleh: Risman Rachman*
Beurujuk.com | Bisa dibilang, disetiap musim Pilkada tiba selalu saja ada strategi dan taktik tampil agamis. Agamis di sini dimaksudkan hanya menggunakan atribut agama untuk kepentingan meraup suara. Sesudah kemenangan dicapai, substansi agama (tujuan Syariah) diabaikan, yaitu menjaga jiwa, menjaga akal, menjaga agama, menjaga keturunan, menjaga harta, dan menjaga lingkungan atau yang kini dikenal dalam trilogi berislam yaitu sejahtera, aman dan bahagia dalam naungan iman.
Dalam bahasa al quran istilah menjual agama secara khusus disebut dengan menjual ayat-ayat Allah (at taubah ayat 9): “Mereka menjual ayat-ayat Allah dengan harga sedikit.” Ayat ini, dalam Tafsir Al Qurthubi diartikan bahwa Yahudi menjual hujah-hujjah Allah dan penjelasan-Nya demi mendapatkan kepemimpinan (riyâsah) dan mendapatkan banyak materi.  
Dulu, ada ayat yang dipakai untuk memilih partai tertentu. Misal “…kalimat yang baik laksana pohon yang baik” (seperti disitir dalam QS Ibrahim [14]: 24) untuk mempromosikan lambang partainya yang berbentuk pohon. Atau hadist “sebaik-baik urusan adalah pertengahan” untuk mengarahkan warga memilih nomor urut partai yang tengah.
Orang Aceh dahulu sudah sangat pinter mensiasati para jurkam penjual ayat. Ada hadih madja untuk meruntuhkan kredibilitas mereka yaitu “hadish keu tungkat ayat keu belanja.” Atau, klaim langsung atas mereka dengan sebutan “awak meukat ayat untuk jeut keu raja.”
Cara ureung jameun mensikapi para penjual agama ini perlu dipopulerkan lagi karena sudah berulangkali pemilu, substansi agama atau tujuan syariah tidak juga tegak di bumi Aceh. Padahal, dalam musim perkenalan hingga musim kampanye, para kandidat sangat dekat dengan bahasa dan anjuran agama.
Di Jakarta ada contoh kasus menarik, dimana salah seorang balon gubernur DKI mengkampanyekan penerapan syariat Islam di Jakarta jika ia terpilih. Sekilas tawaran ini menarik dan patut untuk di dukung. Faktanya, balon dari salah satu partai itu kemudian ditangkap KPK. Nyan ban!
Untuk konteks Aceh, kehadiran balon atau calon kepala daerah yang agamis tentu sangat perlu dan memang sudah semestinya agamis. Tapi, agamis disini mestilah bukan sekedar jualan agama untuk meraih suara, melainkan untuk menerapkan substansi agama atau tujuan syariah. Pertanyaannya, adakah calon yang akan menerapkan tujuan syariah di bumi Aceh?
Ukuran mudahnya memang cukup dengan melihat tampilan luarnya. Misalnya dari penampilannya. Jika kurang, lihat dari kedekatannya dengan ulama, jika kurang juga lihat dari kemampuannya memahami agama.
Semua ukuran itu bagus. Tapi, lebih bagus lagi jika menelaah jejak kepemimpinannya. Salah satu contohnya adalah kebijakannya terhadap lingkungan hidup. Silahkan tanya di dalam hati, siapa lebih islami kebijakan moratorium logging yang dikeluarkan oleh Irwandi Yusuf pada 6 Juni 2007 dengan kebijakan pemberian izin pembukaan lahan di lokasi yang dilindungi banyak undang-undang yang diterbitkan Tarmizi Karim pada 23 April 2012?
Kebijakan Irwandi Yusuf memang bukan hal baru karena juga pernah dilakukan oleh Abdullah Puteh bahkan oleh Nurmahmudi. Tapi jika dilihat secara subtansi maka lebih sangat substansi kebijakan Irwandi Yusuf dalam memaknai tujuan syariah dalam hal menjaga lingkungan hidup. Jika Abdullah Puteh lebih untuk keperluan administrasi, dan Nurmahmudi untuk soal konversi hutan, maka Irwandi Yusuf menukik lebih dalam. Latar belakang pendeklarasian Moratorium Logging Hutan dalam wilayah Provinsi Aceh dimasa Irwandi Yusuf dimaksudkan untuk menyusun kembali Strategi Pengelolaan Hutan Aceh melalui redesign (penataan ulang), reforestasi (penanaman kembali hutan), dan reduksi deforestasi (menekan laju kerusakan hutan), demi kemaslahatan umat manusia, termasuk berupaya menciptakan kesejahteraan bagi masyarakat Aceh.
Dengan satu contoh ini saja sudah cukup untuk mengantisipasi siapa yang pantas disebut calon penjual agama dengan calon yang bermaksud mencapai tujuan beragama atau tujuan syariah. Untuk itu sangatlah penting mengkaji dan menguji visi, misi, program, dan pandangan semua kandidat gubernur Aceh agar terbebas dari tipu daya jualan agama hanya sekedar untuk meraih suara kemenangan, seusai itu tujuan agama diabaikan. (aceHTrend)
*) Pemimpin Umum dan tukang tulis yang tidak penting agar penting

Ini Dia 3 Memo “Bertuah” Jusuf Kalla untuk Aceh

Oleh: *
Beurujuk.com | Memo Wakil Presiden RI, Jusuf Kalla terkait pengungsi asal Sri Langka yang dituju kepada Gubernur Aceh tertanggal 15 Juni 2016 ternyata bukan memo satu-satunya Jusuf Kalla untuk Aceh.
Dalam kapasitas Jusuf Kalla sebagai Wakil Presiden RI, ternyata orang Bugis ini juga pernah menerbitkan memo terkait Aceh. Memo pertama Jusuf Kalla terkait tsunami Aceh dan memo kedua terkait partai lokal dan Partai Aceh.
Memo Ombak Perdamaian
Terkait tsunami Aceh sudah pernah diceritakan oleh Jusuf Kalla dalam buku Ombak Perdamaian untuk mengenang 10 tahun bencana tsunami gempa bumi berskala 8,9 skala richter yang mengguncang dan disusul dengan tsunami yang memporakporandakan Aceh pada 26 Desember 2004.
Alhasil, gagasan dan rencana Wapres dalam Memorandum yang dibuat tahun 2005 itu, membuat SBY pada tanggal 10 Januari 2005, mendatangi Kantor Wapres di Jalan Medan Merdeka Selatan. Ujungnya, keduanya bersepakat merealisasikan memo terkait rehabilitasi dan rekontruksi yang dipadu dengan langkah melanjutkan perdamaian yang jejaknya sudah dirintis sejak Juni 2003.
Memo Merah Hitam
Memo kedua Jusuf Kalla juga pernah dikeluarkan terkait Aceh. Ini ada kaitannya dengan persetujuan partai Aceh.
‘Saya tanda tangani sendiri Partai Aceh, lambangnya dan warnanya. Ketika orang lain tidak berani saya sudah tanda tangani. Jadi satu-satunya partai di Indonesia yang saya tanda tangani Partai Aceh. Karena saya yang tanda tangani , maka tak ada yang berani lagi mengganti,” kata Jusuf Kalla ketika berkunjung di kantor PA, Banda Aceh, aceh Sabtu (13/6/2009).
Alkisah, lolosnya Partai Aceh tidak terlepas dari memo Jusuf Kalla. Jusuf Kalla membuat memo yang menjamin nama itu tidak akan dipersoalkan lagi. Hasilnya, Partai Aceh dinyatakan lolos verifikasi. Memo ini sekaligus sebagai jaminan bagi delegasi Aceh agar nama Partai Aceh tidak akan dipersoalkan lagi.
Soalnya, dua nama yang pernah diusulkan sebelumnya ditolak Jakarta karena dianggap masih berbau Gerakan Aceh Merdeka.
Mengutip penulis buku biografi Hasan Tiro yakni Murizal Hamzah dalam artikel berjudul Local Political Parties in Aceh: Engines of democratisation in Indonesia dalam buku berjudul Aceh The Role of Democracy for Peace and Reconstruction dengan editor utama Prof. Olle Törnquist (Februari 2008) disebutkan bahwa pada 7 Juni 2007, nama yang didaftarkan ke akta notaris adalah Partai GAM, tanpa kepanjangan. Bendera yang diusulkan berwarna merah dengan gambar bulan bintang di tengah dan garis hitam putih. Kanwil Hukum dan HAM menolaknya. Alasannya, selain karena tidak memiliki akronim, dianggap masih identik dengan nama lama.
Sempat terjadi negosiasi, pihak partai melunak. Pada 25 Februari 2008, logo partai diubah. Bulan bintang dihilangkan. Nama partai diusulkan menjadi Partai Gerakan Aceh Mandiri (GAM). Hasil verifikasi pada tenggat waktu 3 hingga 24 April 2008 memutuskan Jakarta menolak nama itu karena dianggap masih identik dengan nama lama.
Perdebatan kembali muncul. Sementara batas waktu verifikasi hampir melewati tenggat. Pilihannya hanya dua: mengubah nama atau tak lolos verifikasi.
Isu itu kemudian dibawa dalam rapat round table meeting antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Pertemuan ini difasilitasi oleh Center Management Initiative, lembaga yang memfasilitasi perjanjian damai.
Pada 8 April 2008, Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla dengan Malik Mahmud selaku pimpinan GAM menyepakati nama Partai GAM menjadi Partai Aceh. Untuk lebih menguatkan, delegasi Aceh meminta jaminan dari Jusuf Kalla, dan dipenuhi. Jusuf Kalla membuat memo yang menjamin nama itu tidak akan dipersoalkan lagi. Hasilnya, Partai Aceh dinyatakan lolos verifikasi.
Memo Kemanusiaan
Itulah tiga memo “bertuah” Jusuf Kalla terkait Aceh. Pada memo kemanusiaan yang ketiga ini, Jusuf Kalla memberi arahan agar pengungsi asal Sri Langka diizinkan mendarat, diberi makan, bbm dan perbaikan kapal. Memo kemanusiaan inilah yang membuat Gubernur Aceh bergerak lebih humanis kepada pengungsi yang di negaranya sedang dilanda konflik sebagaimana dahulu juga pernah dirasakan oleh Aceh. [tebarsuara.com]
*) Penulis merupakan Staf Redaksi & Data aceHTrend

Menulis atau Menjadi Penulis?

menulis
OleH: Deka Amalia*
Beurujuk.com | Seringkali timbul pemikiran jika menulis harus menjadi penulis, atau apa bedanya menulis dengan menjadi penulis?
Sesungguhnya setiap orang bisa menulis. Tidak dibutuhkan bakat luar biasa untuk bisa menulis. Menulis marupakan sebuah keterampilan yang bisa dipelajari. Ada deskripsi, ada definisi, ada teori yang artinya merupakan bagian dari ilmu pengetahuan. Maka, menulis merupakan keterampilan yang bisa dipelajari. Paradigma jika menulis hanya bakat, berkah, atau hanya bisa dilakukan segelintir orang adalah keliru, menurut saya lho.
Apa sesungguhnya hakekat menulis? Sederhana saja, menuangkan apa yang ada dalam pikiran dan perasaan dalam bentuk tulisan. Seorang anak kecil yang menulis: “Aku mencintai mama” sudah melakukannya. Maka, sering kali dikatakan menulislah dengan hati karena ada rasa di sana. Yang menulis menuangkannya dengan penuh perasaan dan yang membaca akan menikmati dengan penuh perasaan. Ada tali batin antara yang menulis dengan yang menikmati tulisan. Seorang ibu yang membaca tulisan anaknya di atas akan menitikkan air mata haru dan bahagia karena dicintai anaknya.
Sederhana ya? Dan indah.. karena ada rasa yang terjalin di sana. Jadi menulislah dengan sepenuh perasaaan, maka akan bisa dinikmati dengan sepenuh perasaan oleh pembacanya. Lalu, bagaimana jika ingin semakin terampil menulis? Juga mudah, pelajari semua kaidah, pahami semua teori dan definisi, pahami semua batasan teori lalu berlatih. Karena semakin sering seseorang berlatih, maka akan semakin terampil ia dalam mengolah kata.
Dari pemaparan di atas, bisa diihat jika menulis sesungguhnya bermula dari keinginan, kemauan atau minat. Dari situ akan timbul rasa suka yang akhirnya cinta. Seseorang yang menikmati apa yang dilakukannya akan merasa bahagia. Kebahagiaan bisa berbagi, bisa menularkan motivasi dan wawasan atau sekadar berbagi rasa sudah sangat luar biasa. Maka, semua akan menjadi candu yang membuatnya ingin menulis… menulis dan menulis…
Bahkan ide bisa dicari, bisa ditemukan. Bahkan imajinasi bisa diolah. Bahkan ada teknik menemukan ide dan mengolah ide hingga meski ide sama namun bisa ditulis berbeda. Sudut pandang yang beda, pemikiran yang beda tentu akan melahirkan tulisan yang beda meski ide sama. Dari sana akan semakin tergali segala ide, akan terbiasa menemukan hal-hal baru yang ingin dituangkan dalam tulisannya. Dari sana lalu akan lahir berbagai karya yang tidak biasa atau bahkan bisa jadi luar biasa. Menyenangkan ya kedengarannya?
Ternyata, berbagai penelitian di dunia membuktikan jika menulis merupakan terapi yang bisa menyembuhkan diri sendiri. Seseorang yang terbiasa menulis selama 15 menit dalam sehari, akan mampu membuatnya membuang segala energi negatif dalam dirinya. Sesuatu yang tidak disadari jika segala hal negatif bertumpuk setiap hari dalam diri manusia, menyimpan sesal, kesal, amarah, dendam, iri, rendah diri dan lain sebagainya. Jangan malu jika perasaan-perasaan negatif itu pernah hinggap dalam diri kita karena memang manusiawi sekali. Semua orang pernah mengalaminya. Memang hidup ini selalu indah? Nah, jika apa yang tersimpan dalam bawah sadar tidak dikeluarkan, dia akan menggerogoti fisik dalam bentuk berbagai penyakit.
Maka, menulis ternyata terapi yang bisa menyembuhkan diri sendiri. Seseorang yang terbiasa menulis akan lebih sehat, awet muda dan berpikir lebih positif. Segala energi negatif yang tersimpan di alam bawah sadar akan keluar dengan sendirinya. Karena tulisan itu tidak mati, tulisan itu juga mengandung tumpahan emosi. Menulis bisa menjadi katarsis dalam diri manusia yang mampu menyembuhkan segala hal yang menyumbat dalam dirinya. Luar biasa ya?
Karena itu, menulis lebih pada kenikmatan diri. Menikmati sebuah kegiatan yang membuat kita merasa nyaman, tenang dan bahagia. Lalu berbagi dengan keluarga, kerabat dan lingkungan sekitar. Menularkan segala kebahagiaan. Sungguh dunia cerah ya? kita jadi lebih mampu mensyukuri apa yang kita punya. Bahkan seorang anak yang terbiasa menulis sejak kecil akan mampu tumbuh menjadi pribadi yang lebih kreatif, terlepas apapun profesinya nanti.
Lalu, apa itu penulis? Penulis adalah seseorang yang menjalani profesinya dengan menulis. Jadi, sesungguhnya yang sudah terbiasa menulis itu ya penulis. Terlepas apakah dia menjalaninya hanya paruh waktu atau penuh. Terlepas dia menjalaninya hanya untuk kesenangan atau mencari nafkah. Semua sah-sah saja. Ada yang mengatakan, jika materi dan nama akan mengikuti bagi yang menulis dengan sepenuh hati. Memangnya penulis terkenal pernah tahu akan jadi terkenal? Memangya ada yang bisa meramal karyanya bakal meledak? Rasanya tak ada ya, hanya ada harapan dan doa yang tentu saja boleh dimiliki oleh setiap orang. Jadi kebanggaan dan kebahagiaan materi itu akan datang dengan sendirinya jika sudah menjadi rezeki.
Terlepas dari itu semua, kita juga harus memiliki target hendak menjadi penulis yang bagaimana, yang seperti apa? Mengarah ke genre apa? Hingga kita bisa beda dan punya ciri khas. Kita pun harus mulai membangun image diri ingin dipandang berkarya di lini mana? Semua itu akan berproses jika kita konsisten. Karena itu, proses menjadi sangat penting dalam menulis dan mengembangkan diri jika hendak menjadi penulis. Bergabung di sebuah komunitas menulis bisa memberi motivasi dan mengikuti pelatihan di sebuah training center jika ingin menambah ilmu dan memicu semangat. Jangan pernah puas, jangan pernah berhenti belajar, maka kita tak akan pernah berhenti berkarya. [rol]
Salam semangat…
*)Penulis aktif di komunitas Women Script & Co dan Writing training center
Ibu dari tiga bidadari ini bisa disapa di FB deka amalia ridwan, email: dewi_suci2001@yahoo.com atau twitter @dekamalia.

BARAT


Top